Sabtu, 04 Juni 2011

HUKUM AGRARIA - HAK ATAS TAHAH (SISTEM HUKUM INDONESIA)


HAK ATAS TANAH

Hak Atas Tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah.

Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya.
Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam Pasal 16 Jo Pasal 53 UUPA, antara lain:
  1. Hak Milik
  2. Hak Guna Usaha
  3. Hak Guna Bangunan
  4. Hak Pakai
  5. Hak Sewa
  6. Hak Membuka Tanah
  7. Hak Memungut Hasil Hutan
  8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.

Dalam Pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam Pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”.
Hak–hak yang dimaksud antara lain :
  1. Hak gadai,
  2. Hak usaha bagi hasil,
  3. Hak menumpang,
  4. Hak sewa untuk usaha pertanian.
Hak–hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak–hak tersebut menimbulkan pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas–asas Hukum Tanah Nasional (Pasal 11 Ayat 1). Selain itu, hak–hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak. Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah tersebut adalah pemegang hak gadai.

Hak menumpang dimasukkan dalam hak–hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan dan budaknya. Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang di Indonesia yang oleh karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim. Sehingga rakyat hanya menunngu perintah dari penguasa tertinggi. Sutan Syahrir dalam diskusinya dengan Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika (1948) mengatakan bahwa feodalisme itu merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan pemerintahan diktatorial. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan tujuan jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan Indonesia dari pemerintahan yang sewenang–wenang dan mencapai kesejahteraan masyarakat. Pada saat itu, Indonesia baru saja selesai dengan pemberontakan G 30 S/PKI. Walaupun PKI sudah bisa dieliminir pada tahun 1948 tapi ancaman bahaya totaliter tidak bisa dihilangkan dari Indonesia. Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak atas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi haknya.
Dalam UUPA, hak–hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :
1.      Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :
  1. Hak Milik
  2. Hak Guna Usaha
  3. Hak Guna Bangunan
  4. Hak Pakai
  5. Hak Sewa Tanah Bangunan
  6. Hak Pengelolaan
2.      Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :
  1. Hak Gadai
  2. Hak Usaha Bagi Hasil
  3. Hak Menumpang
  4. Hak Sewa Tanah Pertanian
Pencabutan Hak Atas Tanah Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut Undang–undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda–benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat merupakan wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar kepentingan umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, serta menteri lain yang bersangkutan. Setelah Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan mengeluarkan Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tadi. Kemudian jika pemilik tanah tidak setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan keberatan dengan naik banding pada pengadilan tinggi.

Jenis-jenis Hak Atas Tanah
Hukum Agraria Nasional membagi hak – hak atas tanah ke dalam dua bentuk: A. Hak primer, hak yang bersumber langsung pada hak Bangsa Indonesia, dapat dimiliki seorang/badan hukum (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai); B. Hak sekunder, hak yang tidak bersumber langsung dari Hak Bangsa Indonesia, sifat dan penikmatannya sementara (Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Menyewa atas Pertanian). Kemudian Pasal 16 UUPA hak atas tanah terbagi atas 7, yaitu: (1) Hak Milik;(2) Hak Guna Usaha (HGU); (3) Hak Guna Bangunan (HGB); (4) Hak Pakai; (5) Hak Sewa; (6) Hak Membuka Hutan; (7) Hak Memungut Hasil Hutan; (8) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan di tetapkan dengan UU serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.

A.    Hak Milik
HAK MILIK adalah hak turun temurun (ada selama pemilik hidup dan jika meninggal dunia, dapat dialihkan kepada ahli waris), terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA.

Ada 3 hal dasar lahirnya hak milik atas tanah, yaitu: 1) Menurut hukum adat; 2) Karena ketentuan UU; 3) Karena penetapan Pemerintah (pasal 22 UUPA). Hapus atau hilangnya hak milik atas tanah, adalah jika:
1) Menjadi tanah negara dapat terjadi karena:
a.     pencabutan hak,
b.     dilepaskan dengan sukarela,
c.     dicabut untuk kepentingan umum,
d.     tanah ditelantarkan,
e.     dialihkan kepada warga negara asing;
(2) Tanahnya musnah

Menurut Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sistem penguasaan tanah di Indonesia yang merupakan hak perorangan mengakui adanya berbagai hak atas tanah berikut:
  1. Hak milik, hak milik digambarkan sebagai “hak yang paling penuh dan paling kuat yang bisa dimiliki atas tanah dan yang dapat diwariskan turun temurun”. Suatu hak milik dapat dipindahkan kepada pihak lain. Hanya warga negara Indonesia (individu) yang bisa mendapatkan hak milik, sedangkan jika menyangkut korporasi maka pemerintah akan menentukan korporasi mana yang berhak mendapatkan hak milik atas tanah dan syarat syarat apa yang harus dipenuhi oleh korporasi untuk mendapatkan hak ini.
Terjadinya dan cara mendapatkan hak milik bisa diakibatkan karena (Sarah, 1978) :
  1. Peralihan, beralih atau dialihkan (warisan, jual beli, hibah).
  2. Menurut hukum adat, karena penetapan pemerintah dan undang-undang (konversi).
Hak atas tanah menurut hukum adat yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah mendengar kesaksian dari masyarakat setempat, dikonversi menjadi hak milik.

B.      Hak Guna Usaha (HGU)
HAK GUNA USAHA (HGU) adalah hak yang diberikan oleh negara kepada perusahaan pertanian, perusahaan perikanan, perusahaan peternakan dan perusahaan perkebunan untuk melakukan kegiatan usahanya di Indonesia.
HGU diatur lebih dan dijabarkan lanjut di pasal 28(1), (2), (3) UUPA.

Pemegang HGU adalah orang perorangan warga negara Indonesia tunggal atau badan hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum negara Republik Indonesia (Pasal 30 UUPA). HGU dapat beralih menurut Pasal 28(3) UUPA, yang kemudian dipertegas oleh PP No. 40/1996, khususnya Pasal 16(2), karena:1. jual beli; 2. tukar menukar; 3. penyertaan dalam modal; 4. hibah; 5. pewarisan. Hapusnya HGU menurut Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No. 40/1996 terjadi karena 7 sebab, yaitu: 1) Berakhirnya jangka waktu; 2) Tidak terpenuhi syarat pemegangnya; 3) Pencabutan hak; 4) Penyerahan suka rela; 5) Ditelantarkan; 6) Kemusnahan tanahnya; 7) Pemegang HGU tidak memenuhi syarat dan tidak melepaskannya kepada pihak yang memenuhi syarat.

HAK GUNA USAHA, suatu hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikontrol secara langsung oleh negara untuk waktu tertentu, yang dapat diberikan kepada perusahaan yang berusaha dibidang pertanian, perikanan atau peternakan.
Suatu hak guna usaha hanya dapat diberikan atas tanah seluas minimum 5 ha, dengan catatan bahwa jika tanah yang bersangkutan lebih luas dari 25 hektar, investasi Sistem Penguasaan Tanah dan Konflik yang cukup akan dilakukan dan pengelolaan usaha secara baik akan diberlakukan. Hak guna usaha bisa dipindahkan ketangan pihak lain. Jangka waktu pemberian hak guna usaha diberlakukan dengan ketat (maksimum 25 tahun). Hanya warga negara Indonesia dan badan usaha yang dibentuk berdasar undang undang Indonesia dan berdomisili di Indonesia dapat memperoleh hak guna usaha. Hak guna usaha dapat digunakan sebagai kolateral pinjaman dengan menambahkan hak tanggungan (security title).

C.    Hak Guna Bangunan (HGB)
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 35 (1,2) UUPA). Subyek hukum yang dapat mempunyai HGB adalah: 1) Warga Negara Indonesia dan; 2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia, dan berkedudukan di Indonesia (Pasal 36(1) UUPA). Tanah HGB mempunyai sifat dan ciri-ciri yaitu wajib didaftarkan, dapat beralih, dapat dialihkan, jangka waktunya terbatas, dapat dilepaskan oleh pemilik HGB sehingga menjadi tanah negara dan dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.

HAK GUNA BANGUNAN, hak guna bangunan digambarkan sebagai hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan diatas tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk jangka waktu maksimum 30 tahun.
Suatu hak guna bangunan dapat dipindahkan kepada pihak lain. Kepemilikan hak guna bangunan juga hanya bisa didapatkan oleh warga negara Indonesia dan perusahaan yang didirikan dibawah hukum Indonesia yang berdomisili di Indonesia.

D.   Hak Pakai

HAK PAKAI adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam Keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang (Pasal 41(1) UUPA). Sifat dan ciri-ciri Tanah Hak Pakai yaitu wajib didaftarkan, dapat dialihkan, dapat diberikan dengan cuma-cuma dengan pembayaran/pemberian jasa berupa apapun, dapat dilepaskan dan dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan

HAK PAKAI adalah hak untuk memanfaatkan, dan/atau mengumpulkan hasil dari tanah yang secara langsung dikontrol oleh negara atau tanah yang dimiliki oleh individu lain yang memberi pemangku hak dengan wewenang dan kewajiban sebagaimana dijabarkan didalam perjanjian pemberian hak.
Suatu hak pakai dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, atau selama tanah dipakai untuk suatu tujuan tertentu, dengan gratis, atau untuk bayaran tertentu, atau dengan imbalan pelayanan tertentu. Selain diberikan kepada warga negara Indonesia, hak pakai juga dapat diberikan kepada warga negara asing yang tinggal di Indonesia. Dalam kaitannya dengan tanah yang langsung dikontrol oleh negara, suatu hak pakai hanya dapat dipindahkan kepada pihak lain jika mendapatkan ijin dari pejabat yang berwenang.

E.      Hak Sewa
HAK SEWA adalah merupakan hak pakai yang memiliki ciri-ciri khusus (Penjelasan UUPA Pasal 10(1)). Sifat dan ciri-ciri Tanah dengan Hak Sewa yaitu tidak perlu didaftarkan, cukup dengan perjanjian yang dituangkan di atas akta bawah tangan atau akta otentik, bersifat pribadi (tidak dapat dialihkan tanpa izin pemiliknya, dapat diperjanjikan, tidak terputus bila Hak Milik dialihkan, dapat dilepaskan dan tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan Hak Tanggungan.

HAK SEWA, suatu badan usaha atau individu memiliki hak sewa atas tanah berhak memanfaatkan tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk pemanfaatan bangunan dengan membayar sejumlah uang sewa kepada pemiliknya.
Pembayaran uang sewa ini dapat dilakukan sekaligus atau secara bertahap, baik sebelum maupun setelah pemanfaat lahan tersebut. Hak sewa atas tanah dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia, warga negara asing, badan usaha termasuk badan usaha asing. Hak sewa tidak berlaku diatas tanah negara.

F.      Hak Membuka Hutan
Membuka hutan dapat diartikan sama dengan mengelola hutan dalam arti luas, karena maksud dari pengelolaan hutan menurut Pasal 21 Huruf (b) UU No. 41/1999 tentang Kehutanan berkenaan dengan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Hutan yang tidak dapat dimanfaatkan secara simultan oleh masyarakat adalah hutan kawasan, seperti hutan lindung, suaka, dan hutan konservasi.


G.   Hak Memungut Hasil Hutan
Masyarakat hukum adat berhak untuk melakukan pemungutan hasil hutan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Pasal 67 UU Kehutanan) . Selain itu, masyarakat juga berhak memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 68(2) huruf (a) UU Kehutanan).

HAK UNTUK MEMBUKA TANAH DAN HAK UNTUK MEMUNGUT HASIL HUTAN, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan hanya bisa didapatkan oleh warga negara Indonesia dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Menggunakan suatu hak memungut hasil hutan secara hukum tidaklah serta merta berarti mendapatkan hak milik (right of ownership) atas tanah yang bersangkutan. Hak untuk membuka lahan dan memungut hasil hutan merupakan hak atas tanah yang diatur didalam hukum adat.

H.     Hak-hak lain

UUPA memberikan banyak varian tentang macam-macam hak atas tanah, yaitu: Hak Gadai (pasal 7 UU No. 56 Prp/1960) , Hak Bagi Hasil atas Tanah (PP No. 8/1953), Hak Sewa Tanah Pertanian (berdasarkan musyawarah mufakat antara pengelola dan pemilik tanah), Hak Menumpang (Hukum Adat dan Pasal 53 UUPA) dan Hak Pengelolaan (Penjelasan Umum bagian A II (2) UUPA dan PP No. 40/1996.
·        
Masalah Kepemilikan Kolektif Hak Atas Tanah
Hak milik atas tanah secara kolektif tidak diatur dalam undang-undang karena pasal 10 UUPA menjelaskan, subyek hukum yang memiliki hak atas tanah adalah individu dan badan hukum. Tanah ulayat adat (suku) hingga kini masih mendekati apa yang disebut dengan kepemilikan hak atas tanah kolektif, namun sepanjang pengambilan hasil serta pengelolaannya, hal terlihat khusus tanah adat (suku) jumlahnya tidak pernah berkurang. Karena hal ini tidak dapat dimungkinkan adanya hak individu atas tanah di wilayah tanah adat (suku).

·         Hak Ulayat
HAK ULAYAT merupakan serangkaian hak masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya yang merupakan pendukung utama penghidupan masyarakat yang bersangkutan. Hak Ulayat diisyaratkan sebagai hak penguasaan tertinggi atas tanah yang merupakan wilayah suatu masyarakat hukum adat (pasal 3 UUPA). Pemegang Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat yang bersangkutan sedangkan Pelaksananya adalah Penguasa Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yaitu kepala Adat sendiri atau bersama-sama para tetua adat masing-masing.

Pemerintah mengeluarkan PMNA/KABPN No. 5/1999tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat .

Pembentukan HTN (Hukum Tanah Nasional) yang diawali lahirnya UUPA berusaha melakukan unifikasi hukum tanah adat dan barat menjadi hukum tanah yang bersifat tunggal. Tanah disini dimaknai secara filosofis yang cenderung diartikan sebagai land dan bukan soil. Sehingga tanah dipandang dari multi dimensional dan multi aspek. 

Bahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak itu untuk seluruh wilayah Republik Indonesia hanya ada satu hukum agraria, yaitu hukum agraria berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria atau UUPA.
Unifikasi hukum tanah dalam UUPA berupaya melembagakan hak-hak atas tanah yang baru. Pembentukan HTN kemudian diikuti dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan baru. Hasilnya, hak-hak atas tanah yang baru dapat dibuat dalam hierarki yang berjenjang.

Urutan vertikal mengenai hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional (UUPA) menurut Boedi Harsono yang dikutip oleh Noor (2006) dalam susunan berjenjang yaitu sebagai berikut :
  1. Hak bangsa, sebagai yang disebut dalam Pasal 1 UUPA, merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah dalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama. Hak bangsa ini dalam penjelasan Umum Angka II UUPA dinyatakan sebagai hak ulayat yang dingkat pada tingkat yang paling atas, pada tingkat nasional, meliputi semua tanah di seluruh wilayah negara.
  2. Hak menguasai dari negara sebagaimana yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merupakan hak penguasaan atas tanah sebagai penugasan pelaksanaan hak bangsa yang termasuk bidang hukum publik, meliputi semua tanah bersama bangsa Indonesia.
Makna dikuasai oleh negara tidak terbatas pada pengaturan, pengurusan, dan pengawasan terhadap pemanfaatan hak-hak perorangan. Akan tetapi negara mempunyai kewajiban untuk turut ambil bagian secara aktif dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat. Dalam hal dikuasai oleh negara dan untuk mencapai kesejahteraan rakyat menurut Bagir Manan yang dikutip oleh Warman (2006), negara Indonesia merdeka adalah negara kesejahteraan sebagaimana termaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Dasar pemikiran lahirnya konsep hak penguasaan negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merupakan perpaduan antara teori negara hukum kesejahteraan dan konsep penguasaan hak ulayat dalam persekutuan hukum adat. Makna penguasaan negara adalah kewenangan negara untuk mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), dan mengawasi (tozichthouden) (Abrar, 1993).
Substansi dari penguasaan negara adalah dibalik hak, kekuasaan atau kewenangan yang diberikan kepada negara terkandung kewajiban negara untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah sebagai sumber daya ekonomi bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  1. Hak ulayat, dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada, hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah bersama masyarakat hukum adat tertentu.
  2. Hak perorangan yang memberikan kewenangan untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan atau mengambil manfaat tertentu dari suatu bidang tanah tertentu, yang terdiri dari :
    1. Hak Atas Tanah, berupa hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai,  hak milik atas satuan rumah susun, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan yang ketentun pokoknya terdapat dalam UUPA, serta hak lain dalam hukum adat setempat, yang merupakan hak penguasaan atas tanah untuk dapat memberikan kewenangan kepada pemegang haknya, agar dapat memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki dalam memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya (Pasal 4, 9, 16, dan BAB II UUPA).
HAK MILIK ATAS SATUAN BANGUNAN BERTINGKAT, adalah hak milik atas suatu bangunan tertentu dari suatu bangunan bertingkat yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah untuk keperluan tertentu dan masing-masing mempunyai sarana penghubung ke jalan umum yang meliputi antara lain suatu bagian tertentu atas suatu bidang tanah bersama. Hak milik atas satuan bangunan bertingkat terdiri dari hak milik atas satuan rumah susun dan hak milik atas bangunan bertingkat lainnya.
    1. Hak Atas Tanah Wakaf, yang merupakan penguasaan atas suatu bidang tanah tertentu, bekas hak milik (wakaf) yang oleh pemiliknya dipisahkan dari harta kekayaannya dan melembagalan selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran agama islam (Pasal 49 UUPA jo Pasal 1 PP No. 28 tahun 1977).
    2. Hak Tanggungan, sebagai satu-satunya lembaga jaminan hak atas tanah dalam hukum tanah nasional, merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan kepada kreditor tertentu untuk menjual lelang bidang tanah tertentu yang dijadikan jaminan bagi pelunasan piutang tertentu dalam hal debitor cidera janji dan mengambil pelunasan dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului dari hak-hak kreditor (rechts prevelijk) yang lain (Pasal 57 UUPA jo Pasal 1 UU No. 4 tahun 1996).
Hak tanggungan, hak tanggungan tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1996 sehubungan dengan kepastian hak atas tanah dan objek yang berkaitan dengan tanah (Security Title on Land and Land-Related Objects) dalam kasus hipotek.

Konsekuensi pengakuan terhadap hak-hak atas tanah, maka negara wajib memberikan jaminan kepastian hak atas tanah, sehingga lebih mudah bagi seseorang mempertahankan haknya terhadap gangguan pihak lain.

1 komentar:

  1. Harrah's Cherokee Casino Resort - Mapyro
    Harrah's Cherokee Casino Resort is 양주 출장안마 situated just 50 minutes south 포천 출장샵 of Asheville. 제주 출장마사지 The property 고양 출장마사지 was built in 1946 and was 공주 출장마사지 built on the site of the original Harrah's

    BalasHapus